Friday, January 29, 2010

I am done with you.


sekilas dilihat dari judulnya, ada kesan bahwa gue menyerah atau apalah. tapi sebenarnya tak sepenuhnya betul.
ya, singkat kata per tanggal 1 Febriuari 2010, gue resmi resign alias mengundurkan diri dari radio ini, yang selama setahun terakhir telah menempa gue dengan banyak hal. Mulai dari isu lingkungan hingga teknik penyiaran. Semuanya gratis gue dapetin di sini dan hebatnya gue malah dibayar. wakakak...

ah, iya.. jadi begini.. gue hendak kuliah lagi sebenarnya. kuliah profesi, ngelanjutin jenjang S1 psikologi yang telah gue rampungi tahun 2008. dan berhubung masih muda, serta jiwa ini masih haus ilmu, dan alhamdulillah orang tua juga masih sanggup membiayai, jadilah gue kuliah profesi lagi sejak Agustus 2009.

Rasanya tentu berat meninggalkan radio ini dengan segala sisinya. Mulai dari kegilaan anak-anaknya, konflik antar jabatan (wah.. kalau ini mah di tiap perusahaan pasti ada ya?), keseruan pas lagi liputan, kegaduhan ketika jadi gatekeeper di primetime show, sampai yang paling ajaib adalah sesi gosip di jam istirahat. Tapi yang namanya zona nyaman, tentu berat ditinggalkan. Haqul Yakin, zona nyaman sepertinya jadi idaman semua orang tapi sungguh bisa jadi senjata paling menikam juga kalau akhirnya kita gak bisa "upgrade" diri.

Dan kali ini, izinkan gue untuk berkilah, kalau gue keluar bukan karena tak cinta dengan pekerjaan ini (karena memang sebenarnya gue sangat cinta) tetapi karena gue rasa gue harus upgrade dulu diri gue ini dengan keilmuan psikologi yang pastinya juga akan lebih berguna di masa yang akan datang. pun gue masih berharap betul, kelak selepas dari kuliah profesi ini di tahun 2011 gue bisa balik lagi kerja di radio ini. radio ajaib super gaib. karena apa? karena gue kadung cinta dengan dunia jurnalistik. gue masih ngidam belajar bikin ficer dan masih tergiur mengikutsertakannya dalam perlombaan internasional. tapi sayang, nampaknya obsesi gue yang satu itu kudu tertunda dulu. ada bintang terang yang harus gue raih lebih dulu: jadi psikolog pendidikan dan punya sekolah bagi kaum marjinal. kali aja ntar di sekolah itu gue bisa buka kelas broadcasting, modal dari kerja di radio ini. hehehe... lumayan kan?

oya, sebelum gue mengakhiri tulisan ini ada baiknya kalau gue tarik memori gue mundur ke belakang dulu, tentang sebuah intensi besar hingga akhirnya gue tertarik dengan dunia jurnalistik, khususnya radio. sejak dulu gue getol banget dengerin siarannya BBC, terakhir yang di Elshinta, gue juga jadi pecandu website-nya BBC (www.bbc.co.uk) sampai detik ini. Selain bisa update berita terbaru dari seluruh dunia, gue juga bisa belajar bahasa inggris gratisan dengan cara yang paling menyenangkan, ketimbang kursus jutaan rupiah di luar sana. hehehe.... (gue suka yang gretongan daaaah...). Jadi BBC lah yang kali pertama membuat gue tanpa sadar terdorong terus untuk bisa terlibat langsung dalam jurnalisme radio. Eh, tapi gak dosa kan kalau psikolog merangkap profesi sebagai jurnalis? ^__^

baik kalau begitu, dengan berakhirnya masa kerja gue di radio ini, maka website ini pun harus gue akhiri juga masa tayangnya. karena memang sejak awal, niat gue bikin website ini seperti mini seri sebuah film yang jelas punya awal dan akhirnya yang yaaa... meskipun tak melulu jagoannya jadi pemenang di bagian akhir (hehe...). Pun jika memang konten situs ini gue tambahkan pada akhirnya adalah karena ada beberapa hal yang mungkin lupa gue ceritakan dan menarik untuk gue ceritakan kembali selama bekerja di radio hijau ini. Dan akan kembali gue teruskan, jika selepas kuliah profesi radio ini berkenan menerima gue kembali dan mengizinkan gue mengasah terus passion jurnalistik gue. Amiiin...

saya, Mawar, pamit undur diri dari ruang dengar anda... stay hijau on... radio hijau... (hihi...)

Sunday, October 25, 2009

jinny in my office

masih bersama mawar di sini. maaf..maaf.. hampir tujuh bulan tak mencuat di layar ini. kecarian? wah.. tersanjung gue! haha

tujuh bulan ya? wah.. banyak sekali perubahan. masih jadi penyiar sih, di radio yang sama tapi... dengan ruang redaksi yang bergeser ke sayap barat. Kalau dulu ruang redaksi masih bersatu padu dengan kantor berita xxH, sekarang kami dihibahkan ruangan 3x8 meter yang... yang... nyempilnya amit-amit, pengapnya bukan main, dan.. sungguh jauh lebih mirip warnet ketimbang ruang berkumpulnya para jurnalis menuangkan ide "busuk"nya. hahaha... bahkan buat jalan keluar aja cuma bisa satu arah, alias gak bisa buat orang. Kalaupun terpaksa berpapasan maka keduanya harus menahan nafas agar perut tak saling beradu. uh.. mesra kan?

tapi beginilah nasib anak tiri, kata seorang kawan yang memang hatinya mudah dibuat dengki atas segala sesuatu. anyway, meski sudah dihibahkan sejak 1 bulan lalu, tetap saja gue masih hobi "ngendon" di ruang redaksi lama, selain karena memang belum direnovasi, agaknya jurnalis xxH masih jengah menempati bekas tempat kami yang lama karena mungkin ada aura-aura tak sedap, ataupun kelitikan yang menusuk tiba-tiba di tengah malam.. yang jelas, jika memang demikian, berarti kemenyan kami SUKSES! hush..hush.. gak sia-sia tiap malam jumat gue "ngepet" sama Denscuy. haha...

Tuesday, March 10, 2009

Posisi Menentukan Prestasi


Sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah, tak perlu dipungkiri, sesekali kita pernah mencontek juga tatkala ujian. Iya kan?
Dan dulu ketika sedang membuat strategi mencontek terbaik, seringkali kita berujar dan mempraktikkan kalimat sentilan "posisi menentukan prestasi". Yang kemudian diartikan oleh para penagwas ujian termasuk guru dengan lebih mengawasi deretan kursi-kursi belakang. Logikanya, semakin jangkauan dari pandangan guru, akan semakin mudah mencontek. Semudah itu.

Tapi dari dulu pun gue bukan termasuk orang yang percaya dengan mitos posisi menentukan prestasi tersebut. Karena akan selalu saya tangkis dengan ungkapan "tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hasil curian adalah di depan kantor polisi". Logikanya saling berlawanan. Tempat yang paling mudah luput adalah yang ada di depan pelupuk mata. Sama seperti kiasan "gajah di depan mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat jelas."

Namun sepertinya, seiring bertambahnya usia dan asam garam yang dikecap, gue mulai percaya kalau "posisi benar-benar akan menentukan prestasi". Well, lebih tepatnya menentukan kenyamanan saat bekerja. Terutama dalam posisi meja kerja. Semakin jauh dari pandangan boss besar, akan semakin mudah buat gue mangkir yah atau setidaknya meminimalkan frekuensi tatap muka.

Bukan apa-apa, bukan karena gue mual liat boss gue juga, tapi karena "boss besar gue yang maha kuasa" itu tipikal "pengawas sejati". Tatapannya setajam elang dan gaya ngaturnya lebih gokil daripada tukang parkir. Terlebih sejak studio siaran hijrah ke lantai 2. Meski tempat baru lebih nyaman, lega dan indah. Tetapi posisinya ngeri! Karena bersebelahan persisi dengan ruang kerja si boss besar. Salah-salah, pergunjingan kita yang sudah menggunakan tone paling rendah (dibaca: berbisik) pun bisa jadi didengarnya.

Apalagi kalau gaya "terjun lapangannya" kumat. Dia akan benar-benar memantau setiap gerak-gerik kita, termasuk gaya bicara dan materi yang disajikan penyiar. Please deh! dosa besar apa ya kalau kita jadi diri sendiri dengan materi matang yang telah dipersiapkan sejak sebelum siaran? No.. big no!!

Kalau sudah begini kisahnya, gue benar-benar percaya kalau posisi boss menentukan prestasi karyawannya. LEbih dari itu, kenyamanan bekerja kami terenggut!

For God Sake! Gue kangen studio siarana yang lama. Yang nyempil kaya upil, yang gelap, yang di dalamnya kita bisa tertawa bahagia tanpa perlu merasa dicermati.

Waspada! Siaga 1!!!

Friday, February 20, 2009

Membenci Mereka Yang (secara tidak langsung) Memberi Saya Makan


Mendekati momen penting (atau sok penting) Pemilu 2009, hampir semua media mulai dari TV, radio, majalah, koran, epaper bahkan ruas pinggir jalan diramaikan dengan beraneka ragam iklan promosi pemilu. Mulai dari caleg yang amat sangat tidak dikenal calon pemilihnya, sampai partai busuk yang masih saja berusaha cari "nama baik" dengan tipu muslihat iklan. 

Ajaib dan cuma ada di Indonesia, Pemilu diikuti lebih dari 40 partai. Disebut multipartai? tidak lagi. Bahkan kini berganti menjadi ULTRAPARTAI. Dahsyat dan (tentu saja) memuakkan.

Setiap jengkal kehidupan umat manuusia Indonesia dipenuhi dengan iklan, promosi, kampanye dan semuanya adalah nama lain dari omong kosong. Loe keluar rumah pasti akan melihat umbul-umbul yang warnanya mencolok dan mengalahkan cat tembok anak TK. Loe nonton TV, sampai muntah lu disuguhi wajah-wajah lama yang ingin beradu memperebutkan kursi nomor satu negeri ini. Loe buka koran atau majalah, loe akan dibuat terkesima dengan setiap kolom yang penuh sesak dengan iklan pemilu. 

Tak terkecuali saat loe pasang radio, tentu media yang satu ini tak mau ketinggalan untuk mengais rejeki lewat iklan parpol. Memuakkan? oh...tentunya. Dan tak ada yang lebih muak selain menjadi orang dibalik meja yang bertugas memutar iklan-iklan sampah itu sampai belasan kali dalam sehari. Sebagai pendengar radio ataupun penonton TV, mungkin loe bisa punya pilihan lain untuk ganti channel. Tapi buat orang-orang di "balik" radio? itu mustahil.

Gue pribadi, jujur aja rasanya udah mual setiap muter iklan sebuah parpol yang cenderung membosankan dan menipu habis jutaan pendengar yang menjadi bidikannya di pemilu 2009. Ini baru satu parpol ya. Karena masih ada iklan dari parpol-parpol lainnya serta capres-capres lainnya yang menitipkan "pesan maut: pilihlah saya" melalui radio gue. Ugh...dongkol banget rasanya denger orang-orang ini berkampanye! Eneg...muak...mual...bosan....jenuh...afek datar...

Tapi akhirnya gue harus sadar, sesadar-sadarnya setelah mendapat tamparan bolak-balik. Kalau memutar iklan-iklan stupid and rubbish itu cuma tugas. Side of my job, part of my being professionalism. 

Sekaligus tamparan keras, kalau gue digaji dari dana iklan yang masuk dan (harus) disiarkan. Tak terkecuali dari iklan-iklan sampah momentum pemilu itu.

Yah...apa mau dikata? semoga gue tidak terendus sebagai sampah (juga).

Tuesday, February 17, 2009

10 Things You Can't Left Behind


Adakalanya sebagai penyiar gue kehabisan bahan atau topik buat materi. Apalagi radio tempat gue bekerja ini mengerucutkan topik tentang isu-isu lingkungan dan turunannya. And as we know, it's hard enough to find that kind of topics. Karena gak setiap hari semua media bahas soal lingkungan dan karena tentu saja politik dan dunia selebritis lebih seksi buat dibidik. Yeah, even honestly semua kerusakan alam yang terjadi di dunia ini adalah karena ketidakbecusan penguasa dan keserakahan pengusaha yang keduanya bertameng di balik topeng politik. That is all.

Singkat kata, karena juga sedang jenuh bahas bencana dan segala media yang gue buka tengah tidak ada yang seru membahas tema lingkungan, akhirnya gue mengangkat topik super biasa. Sangat biasa, mirip dengan bahasan orang normal di luar sana yang selalu butuh hal-hal kecil, konkrit, dan nyata buat dibahas.

Jadilah gue bikin tema interaktif seputar 10 barang yang paling tidak bisa Anda tinggalkan. Dan kalau Anda terlupa membawanya, Anda akan dihinggapi rasa tidak PeDe luar biasa.
Gue mengawali tema ini dengan pengalaman pribadi gue sendiri. Ada satu barang yang paling gak bisa gue tinggalkan, yakni KTP (Kartu Tanda Pengenal). Alasannya sederhana. Dulu waktu bikin penelitian di panti laras (tempat penampungan orang-orang gila yang terlantar di jalanan), pernah ada seorang "pasien" yang katanya saat dirazia tengah tidak membawa KTP hingga akhirnya ia harus digelandang ke panti ini. Selidik punya selidik, rupanya dia bukan seorang gila tapi disangka gila dan terlantar karena tertangkap tangan lagi keluyuran malam-malam dan tak ber KTP. Sejak saat itu, buat gue pamali bgt yang namanya gak bawa KTP karena gue takut hal bodoh bin ceroboh yang serupa terjadi pada gue suatu hari nanti. Oh NO! big NO!

Setelah diawali dengan contoh KTP dari gue, pesan singkat yang masuk ke line interaktif pun membeludak tak seperti biasanya kalau gue bawa tema soal lingkungan dan hal "berat" lainnya. Bahkan 3 page pun tak cukup untuk menampung mereka yang ingin ikutan komentar dan cerita soal satu barang paling gawat kalau sampai tertinggal.

Dari siaran malam kemarin itu gue menyimpulkan kalau kebanyakan orang di luar sana gak bisa tuh lepas dari dua hal : UANG dan HANDPHONE. Well... dua benda yang dari awal memang sudah gue tebak kemunculannya. Setelah kedua benda wajib itu, ada 8 yang paling banyak dijawab mereka. Apa aja?

1. Uang
2. HP
3. KTP (identitas)
4. Sapu tangan / tissue
5. Peralatan mandi
6. Make up stuffs
7. Handuk kecil
8. topi
9. Baju ganti
10. Dan terakhir... ini sungguhan dipilih oleh pendengar: CELANA DALAM (wakksz!#?)

Hey, how about you?

Friday, February 13, 2009

Taste of Music Degradation


Gue baru saja menambahkan satu aplikasi html/javascript buat muter MP3 gratisan dari sebuah situs. Tujuannya ada 2. Tujuan pertama adalah supaya setiap orang yang berkunjung ke blog ini lebih terhibur dengan alunan lagu. Dan tujuan keduanya adalah supaya gue lebih berani mencicipi lagu-lagu baru dengan genre yang berbeda dari biasanya gue perdengar dan perdendangkan (Emo, Gruge, altenatives)

Ketidakmauan untuk mengetahui dan mencicipi lagu-lagu baru (well.. let me say lagu "teranyar" masa kini dengan pemusik baru serta "mainstream" yang semakin mendekati kejenuhan pasar) bisa jadi sebuah boomerang bagi seorang penyiar. Kenapa? ya iyalah...tugas penyiar kan gak cuma dagangin iklan, adlibs, dan informasi tapi juga jualan lagu. Bosen juga kalee kalau pendengar cuma disuguhkan info-info berat tapi lagunya minimalis?

Yah, akhirnya berangkat dari kesadaran untuk juga harus menghibur pendengar melalui musik, jadilah gue sekarang harus rela update lagu-lagu baru lewat radio lain dan TV. Gue juga harus rela menahan diri untuk gak melulu muterin lagu-lagu favorable gue, mengingat target pendengar gue adalah usia 30-40 tahun. Salah-salah muter lagu, mereka bisa kaku dan berlalu!Berhubung radio gue baru berdiri setahun, jadinya music directornya juga belum ada. Alhasil, penyiar dapet satu tugas lagi buat milih-milih lagu selain membawakan berita (dan iklan tentunya--sumber penghidupan kami, wakakak).

So, sejak saat ini gue bertekad memahami isi hati, kepala dan selera musik pendengar meski harus mengorbankan selera sendiri. Soalnya sori-sori aja nih... tiap kali gue on air, ada aja yang request lagunya D'Masiv, Kangen Band, Radja, dan sederet band "mainstream minor melayu" lainnya yang sangat out of my preferer! Kadang suka mau muntah kalau udah ada yang requet lagu-lagu begituan. Tapi demi memuaskan telinga jutaan pasang telinga, apa daya? sesekali harus gue puter juga. Dengan sangat terpaksa. Dan kadang ingin muntah. Dengan sebuah kesadaran juga kalau perlahan selera musik gue agak turun beberapa level. ^_^

Thursday, February 12, 2009

Kali Ini Tentang Pongky Manullang


Gak cuma orang-orang yang kerja di TV atau EO pentas seni aja yang bisa langsung ketemu dengan musisi kawakan. Karena rupanya kali ini, giliran radio gue yang kedatangan musisi. Memang sih biasanya radio gue ini kedatangan "bintang tamu" dari kalangan tokoh masyarakat, penemu, birokrat ataupun tokoh penting lainnya buat dijadikan narsum. Dan jujurly, mendatangkan tamu dari kalangan artis (kalau boleh gue sebut begini) ataupun musisi adalah hal yang terbilang langka. Maklum aja, radio gue ini bukan radio gaul tapi radio lingkungan yang berbasis jurnalistik. fufufu... you ought to know how hard this journalism placed on a radio!

Well, tapi toh akhirnya tim talk show sore berhasil mendatangkan musisi bernama Pongky Manullang yang mampu menyihir jutaan pasang telinga dengan jemari lincah yang mengocok senar gitar. Dengan gaya country yang agak-agak bernuansa "laid down" seperti Jack Johnson, Pongky Manullang berani gue sejajarkan dengan musisi senior Indonesia yang mungkin udah "audible" duluan.

Pongky Manullang selama 3 hari ini menjadi guest star-nya acara talk show sore radio gue. Sayang, bukan jatah gue untuk memandu acara itu plus kesempatan emas bisa mengenal orang se-"music smart" Pongky. Tapi gak papa, kemarin gue sudah cukup puas dengan menjadi produser acara itu. 

Salah satu yang bikin gue cukup kagum pada beliau selain kemampuannya memetik gitar dan mengaransemen lagu retro adalah identitas lainnya sebagai seorang musisi pro lingkungan. Yes, bukannya mau sok-sok an Go Green seperti visi utama radio gue ya... tapi memang He claimed him self as one of eco-musician. Yah, kayak Jack Johnson jugalah, atau kaya U2 dengan icon Bono-nya yang gak pernah mati kampanye lingkungan.

Tapi mudah-mudahan aja, menjadi eco-musician bukan hanya sekadar label untuk "menggaruk" massa baru yang euphoria dengan isu seksi global warming. Karena banyak juga lho musisi-musisi baru ataupun musisi-musisi lama yang mengindustrialisasikan isu seksi global warming sebagai salah satu cara untuk menancapkan panahnya di hati pendengar.

Hey, Pongky! why do you didn't made a concert in our creepy greeny studio?


-Gading, 11 Feb 2009: Listening to Purple Angel by Pongky Manullang-